Disneyland 1972 Love the old s

Setiap aku membaca sejarah Sunda, setiap itu pula bulu-bulu di sekujur tubuhku berdiri, apalagi kalau membaca tentang saat-saat keruntuhan Pakuan Pajajaran. Ketika Pakuan sudah tidak bisa dipertahakan lagi, 4 orang Panglima bersaudara yang bertindak atas nama Raja Nilakedra berupaya menyelamatkan atribut kerajaan dengan membawanya ke Sumedang Larang. Atribut tersebut dipakai untuk menobatkan Pangeran Geusan Ulun. Mereka bercita-cita ingin membangun kembali Pakuan yang kedua di Sumedang Larang. Dahulu ke-4 panglima tersebut sangat dikenal di Sumedang, mereka adalah Sangiang Hawu alias Embah Jaya Perkasa, Batara Adipati Wiradijaya alias Embah Nangenan, Sangiang Kondang Hapa dan Batara Pancar Buana alias Embah Terong Perot. Mereka leluhurku yang menghabiskan masa akhirnya di Dayeuh Luhur.Salah seorang dari 4 panglima tersebut dimakamkan di puncak gunung Rengganis Dayeuh Luhur. Entah kenapa dalam beberapa tahun terakhir ini aku sangat ingin berziarah ke makam itu. Ketika pulang berlibur ke Indonesia diantar oleh adik-adikku, menyempatkan diri berziarah dengan isteri dan satu-satunya anakku yang masih kecil. Aku ingin sekali mengenalkan ia kepada leluhurnya. Anakku tidak mengenal kesundaannya karena lahir dan dibesarkan di Tokyo.

Aku pernah ke makam leluhur dengan pamanku kira-kira tahun 1974, waktu itu masih sekolah di sekolah dasar. Tak terasa perjalanan tersebut sudah 34 tahun yang lalu. Setelah sampai di pintu makam, nafasku terasa sesak, sesak bukan karena habis mendaki, tetapi sesak karena merasa sedih dan prihatin. Aku hanya dapat tertegun dengan membisu seribu bahasa. Mataku tertuju ke makam yang ditata dengan tumpukan batu, ‘Hanya inikah yang tersisa’ padahal beliau seorang negarawan, seorang panglima terakhir yang mempertahahnan Pakuan Pajajaran. Dan beliau pulalah yang menobatkan Pangeran Geusan Ulun sebagai Nalendra di Parahyangan penerus Pakuan Pajajaran yang sirna pada tanggal 11 bagian bulan Wesaka 1501 Saka, kira-kira 8 Mei 1579, negara yang telah berdiri lebih dari 15 abad. Dengan jaminan beliau dan tiga adiknya Geusan Ulun diakui oleh 44 raja-raja daerah di tanah Pasundan. Sumedang Larang nenjadi negara yang berdaulat sebagai penerus Pajajaran dengan luas wilayah bekas Pajajaran munus Banten dan Cirebon.



Aku berdiri di depan makam, pikiranku menerawang jauh ke masa lalu. Peristiwa demi peristiwa dari sejak keruntuhan Pakuan sampai dengan tanah kabuyutan Dayeuh Luhur dijadikan ibu kota dan benteng pertahanan Sumedang Larang rasanya baru saja terjadi, padahal perjalanan itu sudah lebih dari 400 tahun. Aku sendiri heran mengapa aku punya pikiran dan perasaan seperti itu.



Kejayaan Sunda di masa lalu ibarat mimpi indah yang begitu saja hilang tanpa ada yang peduli. Makam tokoh besar yang tersisa seperti makam Jaya Perkasa dan Geusan Ulun adalah situs sejarah yang seharusnya dijaga dengan baik. Makam-makam tersebut kurang terpelihara dan kelihatannya hanya diurus oleh 4 kuncen yang tidak mendapat jaminan sosial yang layak. Bahkan papan keterangan yang menuliskan kebesaran Geusan Ulun Raja Sumedang Larang yang berdaulat hanya terbuat dari papan yang lusuh dan disimpan di atas pintu masuk makam.Papan tersebut tidak lebih baik dari papan pengumuman yang ada di balai desa. Sungguh ironis. Apakah ini merupakan hukum alam ataukah mereka sudah tidak mempunyai lagi rasa bangga atas kesundaannya ? Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya ?



Sosok Jaya Perkasa bagi masyarakat Sumedang merupakan tokoh legenda dan mitos. Pada umumnya mereka tidak tahu siapa sebenarnya Jaya Perkasa, dari mana dan mengapa ada di Sumedang Larang. Mereka hanya tahu bahwa Jaya Perkasa adalah seorang patih dan tokoh sentral cerita babad Sumedang dalam perang dengan Cirebon yang kebenarannya sulit dipertanggungjawabkan. Dalam cerita babad Sumedang, perang itu terjadi dan dimenangkan oleh Sumedang. Tetapi dalam cerita babad Cirebon pun, memang perang itu terjadi dan dimenangkan oleh Cirebon. Cerita peperangan antara Sumedang dan Cirebon yang dilatarbelakangi oleh hubungan segitiga antara Geusan Ulun, Panembahan Ratu dan Ratu Harisbaya, aku kira para penulisnya dilandasi emosional yang tidak terkontrol. Sayang sekali cerita babad yang syarat akan sejarah namun endingnya controversial sehingga menyesatkan. Bahkan ada gossip yang beredar di masyarakat bahwa ketika Harisbaya diculik sedang mengandung, sehingga dianggap bahwa anak yang lahir adalah anak Panembahan Ratu. Namun bila dilihat dari sejarah, kemungkinan itu tidak ada, karena tidak mungkin manusia bisa mengandung lebih dari dua tahun. Peristiwa penculikan itu terjadi tahun 1585, sedangkan perkawinannya tahun 1587, jadi tertunda dua tahun.



Keberadaan Jaya Perkasa sebenarnya jauh lebih besar dari pada perannya dalam cerita badad Sumedang meskipun bercampur mitos. Beliau lah ‘king maker’ ketegangan Sumedang-Cirebon. Jaya Perkasa terpaksa berbuat seperti itu untuk mencari jalan guna menunjukkan bangkitnya kembali Pakuan yang telah diluluhlantakan oleh aliansi Demak, Cirebon dan Banten. Jaya Perkasa tahu persis bahwa menculik isteri orang adalah perbuatan yang nista. Hal ini dilakukan ada dua alasan yang amat mendasar, pertama untuk memancing kemarahan Panembahan Ratu, Jaya Perkasa ingin membalas keruntuhan Pakuan. Kedua, Jaya Perkasa mengetahui latar belakang sebenarnya mengenai percintaan Geusan Ulun dengan Harisbaya ketika mereka berada di Pajang. Sekenario besar ini gagal manakala Panembahan Ratu mengetahui motif sebenarnya dibalik penculikan Ratu Harisbaya.



Jaya Perkasa tidak rela eksistensi Pakuan hilang begitu saja, dengan sisa kekuatan yang ada, beliau berhasil mendirikan kembali kerajaan yang berdaulat penerus Pajajaran. Rencana dan upayanya telah dapat dilalui dengan mulus, namun rupanya Tuhan menentukan lain. Setelah beliau dan Geusan Ulun wafat, kerajaan Sumedang Larang tidak mampu berdiri tegak. Status kerajaan Sumedang Larang berakhir akibat invasi Sultan Agung dari Mataram. Sejak saat itu lenyaplah sudah status kerajaan penerus Pajajaran. Barangkali akibat pengalaman sejarah itu, setiap yang berziarah ke makam Jaya Perkasa tidak diperbolehkan mengenakan pakaian batik.



Sunda, sebuah negeri yang hilang. Budaya dan tatar Sunda tanpa negeri yang berdaulat. Betapa kecewanya Jaya Perkasa bila tahu akhir yang tragis di negeri ini.



Terbayang dalam benakku, perjuangan seluruh hidupnya hanya diperuntukkan untuk kejayaan dan harga diri Pasundan khususnya Pakuan Pajajaran. Cita-citanya yang amat luhur bagi Pasundan, kini sudah ditinggalkan dan dilupakan oleh orang Sunda sendiri. Budaya dan etika Sunda yang terbentuk melalui sejarah panjang selama lebih dari 1000 tahun kini hilang, walaupun terlihat hanya samar-samar.



Hal lain yang menambah keprihatinanku, ketika aku berjalan menuju dan kembali antara perkampungan dengan makam, sepanjang jalan dipenuhi oleh para peminta-minta dengan perilaku setengah memaksa. Aku kira mereka orang-orang yang tinggal di sekitar kampung itu.Ironis, sangat ironis, entah kata apa lagi yang lebih pantas. Di satu fihak tokoh yang dikultuskan karena perjuangannya untuk jati diri dan harga diri Pasundan sedang di fihak lain tidak mengerti dan tidak punya harga diri sama sekali. Sungguh memalukan. Ya Tuhan, mengapa jadinya seperti ini? Tata nilai yang telah dibangun hasilnya ibarat buih di lautan, sangat rentan dan mudah terombang ambing. Inilah kenyataan yang dialami masyarakat Sunda sekarang. Kebesaran dan kejayaan Sunda di masa lampau seolah-olah tidak berbekas.



Andaikan beliau masih ada, rasanya aku ingin memeluk erat-erat, aku sangat merindukan nilai-nilai kesundaan yang hakiki. Kerinduan ku hanya bisa kutumpahkan dengan bersimpuh di depan saksi bisu yang syarat akan sejarah di Tatar Sunda. Sungguh aku merasa teramat kecil di hadapan nya. Sebagai generasi penerus tidak bisa berbuat apa-apa, tidak mempunyai kemampuan apalagi kekuatan untuk meneruskan cita-citanya. ‘Maafkan aku Eyang’ aku hanya bisa menyesali keadaan.